Laman

Selasa, 21 Juli 2020

Pandemi.

Pandemi tahun ini benar-benar bencana besar, seperti yang kita udah tahu.
Harus bahu-membahu untuk sama-sama menguatkan yang satu dan lainnya,
Semua mulai open donasi, mulai lebih berbagi, lebih peduli,
Tapi di satu sisi, menurutku, hal yang paling nyata dari musibah kali ini adalah mereka membuka wujud asli dari masing-masing manusia, watak kita terlihat dari bagaimana kita menghadapi masalah bersama.
Coba yuk kita lihat di luar sana.
Ada yang ignorant, tidak punya empati, ada yang tidak berpikir panjang, ada yang seenaknya sendiri,
doa terburukku untuk orang-orang yang seperti itu.
Di sisi lain, semoga sesuai dengan apa yang aku harapkan, jauh lebih banyak orang baik, yang peduli, yang ternyata punya sisi malaikat, yang terjadi masih benar-benar manusia dengan kemanusiaannya.

Sekarang, coba kita masuk ke dalam rumah. Di mulai dari rumahku dulu.
Sejak pertama kali aku tahu harus menetap di rumah berbulan-bulan, aku sudah gemetar, terlebih bukan karena virus, karena aku takut dengan keadaan di dalam rumah.
Buat anak-anak seperti kita, yang rumahnya terasa seperti neraka, selalu butuh tempat lain untuk pergi, bukan? Tapi disaat seperti ini, mau gimana, semoga kita semua masih manusia, masih sadar banyak hidup yang harus diperjuangkan, mengalah dengan menelan segala tekanan di rumah.
Sama kok, sulit rasanya. Sudah hampir kayak orang gila, sama kok.

Kalian tahu sendiri.... kalau ada apa-apa yang sudah di luar kendaliku, aku pasti kesini, terkadang cuman mampir dan membaca, namun sekarang aku mau menulis lagi.
Lagi-lagi, setelah sudah berbulan-bulan mempertahankan defenseku dengan sibuk dan distracted dengan kesibukan kuliah, freelance, dan sebagainya. Fase ini dateng lagi tanpa diminta.

Hari ini pertengahan bulan Juli, sudah lebih dari 100 hari sejak kita pertama kali menetap di rumah.
Banyak yang terjadi, saking banyaknya, aku sampai harus kembali kesini lagi, menulis diari.

Setiap bangun, rasanya aku panik dan gabisa tenang, yang nantinya bakal bikin aku sakit lagi, alergi kumat, badan panas dingin, bersin, batuk, pusing. Pikiranku ngga ada tujuan, ngga ada tontonan dan kegiatan yang bisa bikin aku stabil dalam waktu yang cukup lama. Setelah beberapa minggu, aku mulai sadar, fase itu datang lagi.

Orang tuaku beberapa kali bertengkar karena salah paham. Teriak, mengancam ini itu, mengungkit-ungkit pisah, dan disaat seperti itu selalu cuman aku yang di rumah, aku harus pura-pura innocent, gatau apa-apa, pura-pura bodoh. Aku mencoba untuk nggak peduli dan mengurusi hidupku sendiri, tapi ternyata di tengah mental yang ngga stabil ini, hal itu berdampak banget. Aku paranoid.
Kalau aku dengar ortuku ngobrol dari jauh, jujur, aku tiba-tiba deg-degan ngga karuan, kata-kata yang pernah ku dengar saat bertengkar rasanya kedengaran di kepala. Bahkan disaat mereka lagi bercanda seru, dari kejauhan aku ketakutan, aku merasa nggak bisa mengontrol rasa takutku sendiri.

Di sisi lain, seperti yang kalian sudah lama tahu, hubungan keluargaku dengan nenekku nggak begitu baik, aku sudah lelah sendiri harus mengulang seperti apa nenekku, yang sejak tinggal bersama dia, seluruh kehidupanku rasanya satu persatu runtuh.
Yang rasanya setiap di rumah aku ketakutan tapi di sisi lain selalu geram, aku nggak pernah se benci ini sama orang, dan aku belum pernah se pasrah ini, nggak bisa melakukan apa-apa atas apa yang menimpa aku. 4 bulan di rumah sama dia sudah makan hampir semua kewarasanku, aku sudah jadi seperti anak setan, ngga bisa sepenuhnya bahagia di dalam rumah.

Dan asal kalian tahu, kalian yang pertama tahu ini, aku benar-benar nggak bisa cerita siapa-siapa.
Aku sudah capek kalau harus mengulang menginginkan mati, toh di sisi lain aku juga belum siap buat itu, naluri untuk hidupku masih ada sisa. Saking capeknya, aku malah ingin membalas semuanya, membalas dengan cepat-cepat punya kehidupanku sendiri dan pergi jauh dari sini. Mungkin ke Jerman? Selandia Baru? atau kemana aja, yang lingkungannya sehat untuk aku.

Sudah bertahun-tahun lamanya, lebih dari sewindu aku harus menghadapi hidup seperti ini, sejak sekolah dasar..... SMP, SMA, kuliah. Semoga aku masih punya bertahun-tahun umur untuk sepenuhnya bahagia dan terutamanya membahagiakan banyak orang, bahagia bersama orang-orang. Aku perbaiki semua untuk bahagia, fisik, mental, aku ngga mau lagi kayak gini di masa depan.
Aku harap bisa cepat meninggalkan Malang.

Minggu, 24 November 2019

Sisi Lain


Heran, mau iri, juga bukan sesuatu untuk diberi iri.
Tapi aku benar-benar nggak habis pikir sama bagaimana keluargaku memandang anak-anaknya.
Mungkin salahku juga karena nggak berani untuk open sejak lama.
Walaupun berusaha open pun, tanggapannya bukan sesuatu yang aku inginkan.
Kakakku baru mau dapat setahun merantau untuk kerja, sepertinya ada masalah sama salah satu rekan dekatnya, atau dengan kerjaannya, aku nggak tahu persis detailnya.
Dia down, salah satu momen paling down di hidupnya, dan dia jadi lebih sering nangis,
dia memberanikan diri untuk diajak ke psikiater untuk check-up, dan aku sangat mendukung itu.
Pada awalnya aku sempat dengar, kalau ayahku menganggap ke psikolog itu berlebihan,
memang untuk beberapa orang, mental illness masih sangat terdengar tabu ya?
Untungnya di akhir semua orang setuju dan mendukung untuk dia konsultasi ke ahli psikologi.
Kadang aku juga berusaha untuk ajak dia bicara kecil-kecilan, ajak nonton film bareng, berharap dia lebih terasa ditemani dan didukung, biar dia nggak jadi orang seperti aku.

Hari ini,
Selagi aku mengerjakan tugas dan deadlineku, aku mendengar percakapan antar nenek dan ibuku,
mereka terlihat sangat khawatir selagi kakakku kembali merantau beberapa menit lalu.
"Gimana kabarnya? Masih sedih sedih aja?"
"Udah nggak nangis, tapi masih belum mau cerita"
"Gimana ya caranya, dia emang agak diam, kita harus apa"

Disisi lain, aku senang dia dapat banyak perhatian, banyak cinta, mungkin karena dia yang paling jauh.
Disisi lain, aku iri, aku nggak pernah bilang isi kepalaku seperti apa, aku nggak pernah bisa bilang aku sudah puluhan kali untuk mencoba bunuh diri di rumahku sendiri.
Disisi lain, aku sedih, bahkan saat aku pernah benar-benar hampir mati, yang datang dan menggedor pintu rumahku, memaksa masuk, bahkan salah satu teman terdekatku, bukan penghuni rumah.
Yang kata nenekku, "dia siapa? kok gedor gedor pintu banget gitu sih."
Disisi lain, semua orang ini nggak menyadari bahwa hanya dalam beberapa langkah di sebelahnya,
ada salah satu penghuni rumah yang sudah bertahun-tahun menjalani deritanya sendiri.
Ada salah satu penghuni rumah, yang sore kemarin, baru saja naik loteng atas karena pikirannya untuk mati kembali datang, berakhir menangis habis-habisan.
Heran aja aku, sebegitu butanya kita jadi manusia.

Sekarang kalian tahu kan kenapa aku sangat amat ingin punya jarak yang terlampau jauh?
Karena aku sudah jauh terlampau dari merasa dihargai disini.

Sabtu, 23 November 2019

Jarak

Jarak, distance, distanza, distansya.

Aku bahkan bisa menebak sebagian besar dari kalian akan langsung mengarahkan pikiran pada seseorang yang jauh, bagaimana kalian merasa rindu, feeling of longing, ingin rasanya mendekat dan memperpendek cakupan jarak dengan orang ataupun hal yang kamu inginkan untuk dekat, rela melakukan apapun itu.

Tapi kalau aku boleh bercerita, kasusku berbeda. Jauh berbeda.
Aku bahkan sangat memaklumi kalau kalian nggak setuju sama aku, kalau kalian merasa nggak bisa relate dengan ceritaku, dengan feelingsku.

Salah satu hal yang paling aku butuhkan saat ini adalah jarak itu sendiri.
Aku bener-bener penat, sesak, karena rasanya aku seumur hidup dalam kontrol yang ketat, nggak bisa merasakan hidupku sendiri. Aku butuh ruang diantara aku dengan keluarga kecilku hingga keluarga besarku. Aku butuh untuk mereka jauh dari aku, biar mereka bisa lebih menghargai eksistensiku.

Selama aku hidup sampai saat ini, tetap di kota yang sama, bahkan aku belum bisa menghafal jalanan jalanan besar di kota, aku belum pernah melakukan hal yang anak seumuranku biasa untuk lakukan.
Aku belum diperbolehkan keliling pakai motorku sendiri, ngga diperkenankan untuk bebas, rasanya seperti terpidana, aku ngga mendapatkan kepercayaan sama sekali untuk melakukan apa yang namanya hidup, yang benar-benar dinamai hidup.

Setiap aku keluar rumah, aku merasa panik dan sangat khawatir, rasanya di leherku ini ada rantai, jadi semakin jauh jarakku, semakin mencekik ke leherku. Aku ingin hidup sebagai manusia juga.
Mencari arti hidupku sendiri, mencari hakikat Tuhanku sendiri, meyakini sebuah kepercayaan dengan caraku sendiri, selayaknya manusia, kan?

Saat ini, aku merasakan puncak dimana aku sama sekali tidak merasakan apresiasi dari rumah malapetakaku, tempat dimana aku menghabiskan hampir seluruh hidupku.
Aku ingin pergi, ke tempat yang sangat jauh, mengadu nasibku sendiri, tidak dicari-cari.
Bahkan tadi malam, aku sempat mengobrol dengan diriku sendiri, kami berdiskusi dan mempertaruhkan sesuatu yang cukup tidak masuk akal, karena tadi malam aku diluar kendali.

Diriku bilang, kalau dunia tidak mengizinkanku untuk pergi jauh dalam beberapa tahun kedepan walaupun aku sudah berusaha sangat keras untuk mencapai bagaimanapun caranya, dia bilang mungkin aku juga berhak untuk mati, karena pada dasarnya hidupmu kali ini hanyalah melukai rasa kemanusiaanmu saja, dan seharusnya manusia tidak hidup seperti itu.


Selasa, 15 Oktober 2019

15 Oktober

Lama ngga nulis, hari ini lagi ngga pengen didengar oleh orang-orang,
dan sepertinya tiap orang juga masih sibuk dengan bebannya masing-masing, tidak seikhlas itu untuk mendengar. Aku sendiri punya bebanku dan lagi sibuk untuk memaksa otakku meladeni UTS.

Jadi, kemarin ada kejadian yang cukup bikin breakdown.
Nggak tahu ya kayaknya sudah berkali-kali kayak gini kok masih nyesek.
Kalian heran apa nggak sih kalau ada orang yang perasaannya bisa berubah drastis dalam jangka waktu pendek gitu?
They might saying you're one of the bestest thing in the world, showing how grateful they are
for having you in life dan seolah-olah program kemasukan virus, a week later, you're forgotten.
Aneh ya?
Kadang mikir apa aku yang terlalu perasa atau memang dari awal aku nggak ada tempat sevital itu di hidupnya. They were lonely and I was there.

Belum lagi my weakass masih beradaptasi sama dunia kampus yang baru, parting ways with friends, dealing with new kind of problems, ayahku habis sakit, operasi ring di jantung.
Dan kayak puisiku yang lama, aku masih ada di rumah malapetakaku.
Kalian udah pernah tahu apa belum kalau aku diagnosed as anxiety disorder sufferer?
Bingung aku, aku kepikiran terus buat nggak kuliah soalnya merasa jadi kayak beban buat orang lain,
padahal ya nggak ada yang mikir gitu, tapi pikiranku muter disitu.

Hari ini pula, salah satu Idol K-pop yang tentunya hampir semua orang tahu, Sulli,
meninggal dunia. Lagi-lagi mental issue dan committed suicide, I can't be more sad.
Apesnya, di keadaan pikiran yang memang lagi kacau, ditambah dengan serangan media massa tentang bahasan ini dimana-mana, aku ke triggered juga. Wah, gila, kacau banget ini pikiran.
Rasanya kayak sisi setan sama sisi malaikat saling mempertahankan tempatnya.
Mati aja, jangan mati, mati aja, jangan mati.
Tanya aja sama sufferer yang lain, gimana rasanya kalo udah ketrigger hal-hal kayak gitu,
beuh, ancur euy, ngga tau lagi.

Tapi di sisi lain, sebagaimana Indonesia sangat membenci rezim Orde Baru, aku sangat membenci rezim diriku pada zaman 2015, dimana lagi kumat-kumatnya,
psikolog sana-sini, harming sana sini, wah, anti banget aku, nggak mau lagi kayak gitu,
heran makanya sama yang sok edgy depresi depresi, belum tau nerakanya dunia ada di pikiran.
Jadi, ya begitu, aku akhirnya dengan menangis tetap melanjutkan belajarku sampai sekarang, lanjut membaca buku Prof. Bakri tentang Pengantar Hukum Indonesia.

Hari ini, masku ulang tahun, dan hari ini juga aku bisa melewati satu malam dengan pikiran yang cukup fucked up. Selamat ulang tahun, Mas. Selamat berproses, aku.



Rabu, 01 Mei 2019

Every Man for Himself


In the end,
It’s every man for himself.
To whom I trust?
Your whites and blacks, I poured into it
All the rainbow this world ever had
The sky was too dark,
I burned the stars
Sacrificed my soul to the fire
And remembered as the dust

In the end,
It’s every woman for herself
To whom I lean?
No one have any right to my pain,
So am I
To whom you believe?
It’s never been a sin to forget someone
What will you blame, if you’re forgotten?

In the end,
It’s you for yourself

Senin, 14 Januari 2019

A Clip That Amaze me #1

YEHEEEEET.
Oiya Assalamualaikum.
First of all, I've been wanting to write these kind of section since long time ago,
yup, an appreciation section for all the videos that left me jawdropped. D:
And I got to make one of them this week because my teacher, fortunately, gave an assignment
to review an artwork and yeaaah! I think about write it here too heheh.
Ps. It will be pretty short since its for assignment buuut I will continue it next time!

PINK - What About Us



A famous and super talented singer, as well as songwriter, Pink, released a music video of one of her songs which titled 'What About Us' on August 2017. The song itself released as the lead single of her 7th album 'Beautiful Trauma'. So, what kind of music video is this? How does it amazes me?

The song contains wondrous lyrics with idiom that easy to understand, and it portrayed well inside the music video. Beside that, the music video also made a little surprise by including both emotional contemporer movements along with with powerful modern dance choreography, that might be represents two sides, misery and madness.

The video started with audio of protest and political speech, displaying the unhappylives of people from any kind of side. You can hear the words 'God Bless You and God Bless America' that might make you a bit goosebumps. It left a big impact because sounds so reversed with the video that shows suffers.

Pink and her people fight, scream, and dance in front of the police cars, under the spotlight of the helicopter as an act of speaking protest to the government. In the end, you can see people leans to each other that read as a message from unheard people who gathered to help each other against the politicians and leaders.

Overall, the music video obviously convey about the pain and suffer given by the governance and society to people under them.

Jumat, 09 November 2018

Malang, Vacuum of Power.

Assalamualaikuuuum,
Halo, jadi saya sendiri adalah salah satu proud citizen dari Kota Malang.
Bener-bener bangga deh, saya pernah bikin video pariwisata Malang dan setiap lihat ulang video itu rasanya kayak, wow keren juga kotaku.

Tapi kali ini yang bakal dibahas adalah dark side Kota Malang sendiri, yang mungkin
hampir semua orang yang update berita pasti tahu perihal apa.
Yes, mass corruption. (I added the link for the news below)

Mendengar berita yang begitu menyedihkan dan memalukan ini,
saya yang terkadang belajar sejarah menyimpulkan adanya Vacuum of Power secara de facto di Kota Malang, kenapa?
Vacuum of power saya ketahui sebagai istilah untuk kekosongan kekuasaan, dimana sebuah wilayah tidak dibawah kekuasaan siapapun. Indonesia pernah mengalami masa ini setelah Jepang kalah pada perang Asia Timur Raya,  saya yakin sebagian besar orang pasti sudah tahu tentang ini.

Tapi vacuum of power ini berbeda, karena apa?
Karena secara de jure, sudah ada yang menggantikan kedudukan mantan walikota kita (yang juga tertangkap oleh KPK) Moch Anton, digantikan dengan Sutiaji.
Karena secara de jure, roda pemerintahan di Malang masih berjalan.
Namun secara de facto, beda lagi ya menurut saya. Cacat banget.

Saya emang masih pelajar sih, bau kencur, tapi saya mau menilai dari satu kasus aja lewat perspektif sendiri.
1. Jadi, di Lapangan Rampal, sedang heboh nih, ada pentas lumba-lumba dan hewan lainnya yang diadakan sebulan dan berlangsung tiap hari. Padahal lagi ramai kan boikot sirkus hewan, lah ini berani beraninya pasang banner dimana-mana?
Ini saya dan banyak orang sudah koar-koar di medsos tapi tidak ada tindak lanjut.
Mau mengadu tapi kurang informasi dan publikasi harus lewat siapa agar suara kami masuk balai kota.

Disisi lain, lapangan rampal sangat berdekatan dengan yang namanya pusat pemerintahan, yakni Gedung DPRD dan Balai Kota Malang. Kalau dilogikakan, harusnya mendapatkan penanganan dan perhatian lebih dong karena jaraknya dekat. Kayaknya di Geografi ada materi ini, di bab tata kota.

2. Bapak Sutiaji, oh Bapak Sutiaji. Bahkan saya belum hafal muka walikota saya sendiri, karena memang tak familiar bagi saya.
Beda dengan zaman Abah Anton awal jadi walikota, everyone know him. Dia juga gencar dengan semboyannya 'Peduli Wong Cilik' dan memenuhi media dengan program-programnya ke desa sana desa sini, mengadakan pengajian yang begitu akbar saat ulang tahun Kota Malang, datang ke beberapa event di Malang, tentu banyak lah yang kenal dan merasa diperhatikan.

Saya memang kemarin coblos Sutiaji di kertas pilkada, tapi bukan karena saya dukung tokoh tersebut sepenuhnya. Cuman saya nggak mau punya wakil rakyat yang namanya lagi rusak, apalagi karena kasus korupsi, segerombolan pula. Nama baik itu salah satu asset paling besar, kawan.
Kebetulan kemarin 2 dari 3 calon ketangkap KPK, auto-win lah ya Sutiaji.

Nah, itu 2 poin yang membuat saya menyimpulkan Kota Malang lagi kosong-kosongnya kekuasaan.
Pertama, rakyat nggak merasakan adanya rangkulan dari pemerintah, gak ada koneksi dan transparansi, kita bingung diayomi oleh siapa.
Kedua, merasa bahwa walikota kita yang baru nggak terlalu turun tangan ke rakyat, jadi berasa hidup sendiri-sendiri. Bagaimana rakyat mau percaya kalau kayak gini?
Partisipasi politik di Malang jatuh drastis.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45405591

https://nasional.tempo.co/read/1123920/anggota-dprd-kota-malang-yang-lolos-korupsi-berjamaah